Selasa, 13 Januari 2015

Bronkopneumonia



3.1 Anatomi
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum. 
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari  bronkhiolus distal sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris dalam beberapa lobus pulmonis. 8


Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1.      Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2.      Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3.      Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal, posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1.     Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis inferior.
2.     Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal,  dan posterobasal.8

3.2 Bronkopneumonia
3.2.1  Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.9
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.5
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat atau konsolidasi pada alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang merupakan penyebab tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi.5,9

3.2.2    Epidemiologi
Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respirasi, terutama pneumonia. Angka kematian pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 %.4
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh Pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai anak kecil dan bayi.7
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.4

3.2.3    Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
             1.     Faktor Infeksi
                       a.     Pada neonatus: Strept
2
 
2
 
2
 
okokus grup B, Respiratory Si
2
 
ncytial Virus (RSV).
2
 
                       b.     Pada bayi:
Virus: Virus parainfluenza, influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, pneumocytis.
Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
                       c.     Pada anak-anak :
Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP.
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa.
                      d.     Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
Bakteri: Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
             2.     Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
                  a.                Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
                  b.               Bronkopneumonia lipoid:
Terjadi akibat masuknya obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.4,9

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurunnya sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.2,7,9
Bakteri penyebab Pneumonia berdasarkan umur
Umur
Bakteri
< 1 Bulan
Grup B streptococcus
Gram negativ
E. coli
Kebsiella
1-3 Bulan
Chlammydia
Staphilococcus aureus
Grup B streptococcus
3 Bulan – 5 tahun
H. Influenzae
S. Pneumoniae
S. Aureus
Grup A streptococcus
Mycoplasma
5-10                       Tahun
Mycoplasma
S. Aureus
Grup A streptococcus
> 10 Tahun
S. Pneumoniae
Mycoplasma
Grup A streptococcus
Klabsiella

3.2.4    Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Berikut pembagian secara anatomis:5,9
  1.  Pneumonia lobaris
  2.  Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
  3.  Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
Sedangkan pembagian secara etiologi :
         a.     Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
        b.     Virus : Respiratory Syncitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
         c.     Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,     Blastomycosis, Cryptoccosis.
        d.     Corpus alienum
         e.     Aspirasi
         f.     Pneumonia hipostatik

3.2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain:
1.        Inhalasi langsung dari udara
2.        Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.

3.        Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4.        Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
1.        Susunan anatomis rongga hidung.
2.        Jaringan limfoid di nasofaring.
3.        Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4.        Refleks batuk.
5.        Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6.        Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7.        Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8.        Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.5,9
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
1.     Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.     Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.     Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.     Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.5,7,9

3.2.6    Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
1.     Pemeriksaan fisik
a.        Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
b.        Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
c.        Perkusi : Sonor memendek sampai beda.
d.        Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras ) disertai ronki basah halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.2,5,7

3.2.7 Pemeriksaan Penunjang
1.      Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm­­­3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2.      Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
3.      Sinar x: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
4.      Analisa gas darah (AGD) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
5.      Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati.
6.      JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
7.      Pemeriksaan serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
8.      LED: meningkat
9.      Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
10.  Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah
11.  Bilirubin: mungkin meningkat
12.  Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka: menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV).2,5,7

3.2.8    Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.5,9
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:5,7
1.    Bronkopneumonia sangat berat:
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2.    Bronkopneumonia berat:
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3.    Bronkopneumonia:
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat:  > 60 x/menit pada anak usia <2 bulan; > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun > 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4.    Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1.    Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2.    Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3.    Deteksi antigen bakteri

3.2.9  Diagnosa Banding
1.      Bronkiolitis
2.      Aspirasi pneumonia
3.      Tb paru primer

3.2.10  Penatalaksanaan
1.    Terapi Kausatif
Antibiotik polifragmasi selama 10-15 hari, yaitu:
a.    Ampicilin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis
b.    Klorampenikol dengan dosis:
Umur < 6 bulan: 25-50 mg/kgBB/hari
Umur > 6 bulan: 50-75 mg/kgBB/hari dosis dibagi dalam 3 dosis atau
Gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis
2.    Terapi Supportif
a.       Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus. Oksigen 2-4 L/menit sampai sesak hilang.
b.      Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a.         Menjaga kelancaran pernafasan.
b.        Kebutuhan istirahat.
c.         Kebutuhan nutrisi dan cairan.
d.        Mengontrol suhu tubuh.
e.         Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f.         Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.2,5

3.2.11 Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah:
1.      Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2.      Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3.      Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4.      Infeksi sistemik
5.      Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6.      Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
7.      Efusi pleura
8.      Otitis media
9.      Bronkiektase5

3.2.12 Prognosis
Prognosis penyakit ini bonam, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.5,7

3.2.13 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
·         Vaksinasi Pneumokokus
·         Vaksinasi H. influenza
·         Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
·         Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.5,7





3.3      Anemia
3.3.1    Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan besi tubuh berkurang. Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut Walmsley et al. secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari 12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron bindincapacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW, MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan disebut tahap deplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat >390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut eritropoesis defisiensi besi. Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ialah tahap defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin serum serta hemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga akan mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl.




3.3.2   Anemia Penyakit Kronis
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas utama: ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik. Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi penyakit dasar. Penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah tuberkulosis paru. Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik dipublikasikan di Indonesia.
Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi tubuh didalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel progenitor eritroid di sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang dan terjadi eritropoisis dengan restriksi besi. 


Anemia pada penyakit kronik adalah immune driven, dimana sitokin dan sel- sel retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel progenitor eritroid, produksi eritropoietin oleh ginjal, berkurangnya umur eritrosit, yang semuanya berkontribusi pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit kronik, karena dipengaruhi berbagai penyakit dasar maka menjadi sulit untuk menentukan salah satu mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam terjadinya anemia pada penyakit kronik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar