3.1
Anatomi
Struktur
dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan
dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak
simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah
cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi
fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi
terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang
terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan
kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis
membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas
dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel kolumner
bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat
pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan
nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam
mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet
pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar
dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan
seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan
peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal
respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal sampai terminal :
bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada pemeriksaan
luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo sinistra. Pulmo
dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris dalam
beberapa lobus pulmonis. 8
Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi,
yaitu:
1.
Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior,
inferior
2.
Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3.
Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal,
anterobasal, laterobasal, posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1.
Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior,
anterior, lingularis superior, lingularis inferior.
2.
Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal,
dan posterobasal.8
3.2 Bronkopneumonia
3.2.1 Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Bronkopneumonia
adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang
ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.9
Bronkopneumonia
disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.5
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa bronkopneumonia adalah
radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai
dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur
dan benda asing.
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus
terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa
infiltrat atau konsolidasi pada alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia
ini dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia
lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang merupakan
penyebab tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses
non infeksi.5,9
3.2.2 Epidemiologi
Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang
hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang
tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Menurut survey kesehatan
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit sistem respirasi, terutama pneumonia. Angka kematian pneumonia pada balita di
Indonesia diperkirakan mencapai 21 %.4
Angka kejadian tertinggi
ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya umur.
Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan
oleh Pneumococcus, ditemukan pada
orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai
anak kecil dan bayi.7
Menurut penelitian
Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain Case Control,
hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan secara bermakna
dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524
(CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,524
kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.4
3.2.3 Etiologi
Penyebab
bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
1. Faktor
Infeksi
|
|
|
|
|
b. Pada bayi:
Virus: Virus
parainfluenza, influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, pneumocytis.
Bakteri: Streptokokus
pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
c. Pada anak-anak :
Virus: Parainfluensa,
Influensa Virus, Adenovirus, RSP.
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus,
Mycobacterium tuberculosa.
d. Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
Bakteri: Pneumokokus,
B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks
esophagus meliputi :
a.
Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi karena aspirasi selama penelanan muntah atau
sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b.
Bronkopneumonia
lipoid:
Terjadi akibat masuknya obat yang mengandung minyak
secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat
paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.4,9
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat
berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurunnya sistem imun pada
penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang
belum berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.2,7,9
Bakteri
penyebab Pneumonia berdasarkan umur
Umur
|
Bakteri
|
< 1 Bulan
|
Grup B streptococcus
Gram negativ
E. coli
Kebsiella
|
1-3 Bulan
|
Chlammydia
Staphilococcus aureus
Grup B streptococcus
|
3 Bulan – 5 tahun
|
H. Influenzae
S. Pneumoniae
S. Aureus
Grup A streptococcus
Mycoplasma
|
5-10
Tahun
|
Mycoplasma
S. Aureus
Grup A streptococcus
|
> 10 Tahun
|
S. Pneumoniae
Mycoplasma
Grup A streptococcus
Klabsiella
|
3.2.4 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada
yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi.
Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.
Berikut pembagian secara
anatomis:5,9
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
3. Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
Sedangkan
pembagian secara etiologi :
a. Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
b. Virus : Respiratory
Syncitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
c. Jamur : Candida,
Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis, Blastomycosis, Cryptoccosis.
d. Corpus alienum
e. Aspirasi
f. Pneumonia hipostatik
3.2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara,
antara lain:
1.
Inhalasi langsung dari udara
2.
Aspirasi
dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3.
Perluasan
langsung dari tempat-tempat lain.
4.
Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah
sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
1.
Susunan anatomis rongga hidung.
2.
Jaringan limfoid di nasofaring.
3.
Bulu
getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4.
Refleks batuk.
5.
Refleks
epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6.
Drainase
sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7.
Fagositosis aksi limfosit dan respon
imunohumoral terutama dari Ig A.
8.
Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang
melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.5,9
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme
dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di
alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
1.
Stadium
I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2.
Stadium
II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi
oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.
Stadium
III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel
darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus
masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.
Stadium
IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.5,7,9
3.2.6 Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran
nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai
39-40oC dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai
pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana
pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
1.
Pemeriksaan fisik
a.
Inspeksi
: pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela
iga.
b.
Palpasi
: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
c.
Perkusi
: Sonor memendek sampai beda.
d.
Auskultasi
: Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras )
disertai ronki basah halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung
pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung
halus sampai sedang.Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada
auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar
lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3
minggu.2,5,7
3.2.7
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Gambaran
darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan
infeksi virus atau mycoplasma.
2.
Nilai
Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
3.
Sinar
x: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
4.
Analisa
gas darah (AGD) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis metabolik.
5.
Pemeriksaan
gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum, aspirasi
transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang
tidak diobati.
6.
JDL :
leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi
virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
7.
Pemeriksaan
serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
8.
LED:
meningkat
9.
Pemeriksaan
fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan
jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
10. Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah
11. Bilirubin: mungkin meningkat
12. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka:
menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV).2,5,7
3.2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya
disertai pemeriksaan penunjang. Pada
bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa
lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis,
atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel
polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit
dapat berada dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau
sedikit menurun.5,9
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan
dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh
karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih
sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:5,7
1.
Bronkopneumonia
sangat berat:
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2.
Bronkopneumonia
berat:
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan
masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi
antibiotika.
3.
Bronkopneumonia:
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan
yang cepat: > 60 x/menit pada anak
usia <2 bulan; > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun > 40
x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4.
Bukan
bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti
diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman
penyebab:
1.
Kultur
sputum atau bilasan cairan lambung
2.
Kultur
nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3.
Deteksi
antigen bakteri
3.2.9
Diagnosa Banding
1.
Bronkiolitis
2.
Aspirasi
pneumonia
3.
Tb
paru primer
3.2.10 Penatalaksanaan
1.
Terapi Kausatif
Antibiotik polifragmasi selama 10-15 hari, yaitu:
a.
Ampicilin
100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis
b.
Klorampenikol
dengan dosis:
Umur < 6 bulan: 25-50 mg/kgBB/hari
Umur > 6 bulan: 50-75 mg/kgBB/hari dosis dibagi
dalam 3 dosis atau
Gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari diberikan
dalam 2 dosis
2.
Terapi
Supportif
a.
Pemberian
oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl
0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus. Oksigen
2-4 L/menit sampai sesak hilang.
b.
Karena
sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan
dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit
datang sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung,
sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a.
Menjaga
kelancaran pernafasan.
b.
Kebutuhan
istirahat.
c.
Kebutuhan
nutrisi dan cairan.
d.
Mengontrol
suhu tubuh.
e.
Mencegah
komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f.
Kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.2,5
3.2.11 Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah:
1.
Atelektasis
adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan
akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2.
Empiema
adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3.
Abses
paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi
sistemik
5.
Endokarditis
yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6.
Meningitis
yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
7. Efusi
pleura
8. Otitis
media
9. Bronkiektase5
3.2.12 Prognosis
Prognosis penyakit ini bonam, mortalitas kurang dari 1 %,
mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan
malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah
lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan
dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor
infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.5,7
3.2.13 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari
kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai
penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur ,menjaga kebersihan,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
·
Vaksinasi Pneumokokus
·
Vaksinasi H. influenza
·
Vaksinasi
Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
·
Vaksin
influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.5,7
3.3 Anemia
3.3.1 Anemia
Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang
disebabkan oleh cadangan besi tubuh berkurang. Keadaan ini ditandai dengan
saturasi transferin menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang
berkurang. Menurut Walmsley et al. secara berurutan perubahan laboratoris pada
defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan
feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin serum,
(4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan Mean
Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan
timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang
paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian tahap
laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia defisiensi
besi (iron deficiency anemia). Pada tahap pertama terjadi
penurunan feritin serum kurang dari 12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong
atau positif satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi
total/total iron bindincapacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI),
saturasi transferin, RDW, MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam
batas normal, dan disebut tahap deplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin
serum, besi serum, saturasi transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong,
tetapi TIBC meningkat >390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut
eritropoesis defisiensi besi. Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi ialah tahap defisiensi besi yang berat dari dan ditandai
selain kadar feritin serum serta hemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga
akan mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik
hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl.
3.3.2 Anemia Penyakit Kronis
Anemia pada penyakit kronik adalah
anemia yang dijumpai pada penyakit
kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya
hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan
untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia
penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang
terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga
terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar
pathogenesis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas utama:
ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih
dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Anemia pada penyakit kronik adalah
anemia paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data
epidemiologis mengenai semua kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan
anemia pada penyakit kronik. Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage
penyakit dan kondisi penyakit dasar.
Penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah tuberkulosis paru.
Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik dipublikasikan di
Indonesia.
Ciri khas anemia pada penyakit kronik
adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi
besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini menimbulkan perpindahan besi dari
sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi tubuh didalam sistem
retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel progenitor eritroid di
sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang dan terjadi eritropoisis
dengan restriksi besi.
Anemia pada penyakit kronik adalah immune
driven, dimana sitokin dan sel- sel retikuloendotelial menginduksi
perubahan homeostasis besi, proliferasi sel progenitor eritroid, produksi
eritropoietin oleh ginjal, berkurangnya umur eritrosit, yang semuanya
berkontribusi pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit kronik, karena
dipengaruhi berbagai penyakit dasar maka menjadi sulit untuk menentukan salah
satu mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam terjadinya anemia pada
penyakit kronik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar